BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran filsafat Islam
terpengaruh oleh filsafat Yunani para filosof Islam banyak mengambil pikiran
Aristoteles dan tertarik dengan pikiran Plotinus, sehingga banyak teori yang
diambil. Memang demikianlah keadaan orang yang datang kemudian terpengaruh oleh
orang-orang sebelumnya dan berguna kepada mereka. Akan tetapi berguru tidak
berarti mengekor dan memngutip, sehingga harus dikatakan bahwa filsafat Islam
kutipan dari Aristoteles atau neo-Platonisme. Dalam hal ini ialah pemikiran
Ibnu Sina dan Al-Farabi tentang filsafat al-Farid dan Al-Nafs. Walaupun mereka
mencangkok pemikiran para filosof Yunani tapi dalam memahami substansinya
berbeda. Dimana mereka Ibnu farabi dan Ibnu Sina lebih Islami dan sesuai dengan
Al-Qur'an.
Untuk lebih jelasnya, dalam makalah ini saya akan
membatasinya pada kajian tertentu agar kita mempunyai cermin yang representatif
dalam mengambil sebuah kebenaran dan pelajaran dari sejarah pemikiran Islam.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa
yang dimaksud tentang Ruh atau Jiwa menurut Al-Farabi?
2.
Apa
yang dimaksud tentang Ruh atau Jiwa menurut Ibnu Sina?
3.
Apa
perbedaan antara pendapat Al-Farabi dan Ibnu Sina mengenai Ruh atau Jiwa?
C.
TUJUAN PENELITIAN
1.
Untuk
mengetahui pengertian ruh atau jiwa menurut Al-Farabi
2.
Untuk
mengetahui pengertian ruh atau jiwa menurut Ibnu Sina
3.
Untuk
memahami perbedaan antara pendapat Al-Farabi dan Ibnu Sina mengenai Ruh atau
Jiwa
BAB II
PEMBAHASAN
A.
HAKIKAT
TENTANG JIWA
Jiwa adalah
sesuatu yang maujud (ada), tetapi bagaimana wujudnya? Inilah yang berbeda di
kalangan para filosof, theologi dan ahlu sunnah dan tasawwuf. Jika sebagian
golongan ahlu hadits dan tasawwuf meyakini jiwa berbeda dengan ruh, maka
sebagian yang lain dari para filosof Muslim justru menganggap jiwa dan ruh itu
adalah sinonim. Letak perbedaan tersebut bisa dipahami karena adanya perbedaan
pada disiplin ilmu. sehingga berbeda pula sudut pandangnnya.
B.
PENGERTIAN FISIK/BADAN/JASMANI/RAGA
Dalam kamus besar filsafat fisik atau badan memiliki
pengertian:
1. Dipakai sebagai sinonim dengan obyek
material atau materi
Misalnya:
“benda yang sedang bergerak akan tetap bargerak”
2. Menunjukkan komposisi materi dari
manusia untuk di bedakan dari pikiran, roh atau jiwa.
3. Hal-hal yang dapat diamati secara
inderawi di sekeliling kita disebut benda (bodies).
4. Ciri umum dari semua benda adalah
keluasan (kuantitas) dan mengisi suatu ruang tertentu.
5. Kompenetrasi benda-benda sebenarnya
berarti bahwa beberapa benda menempati ruang yang sama. Sebenarnya,
kompenetrasi ini mustahil meskipun tidak mengandung kontradiksi di dalam dri
sendiri (inner contradiction). Tidak ada kompenetrasi( dalam pengertian filosofis)
dalam larutan kiamiawi atau di dalam persenyawaan gas-gas yang berlainan.
1.
JIWA DALAM AL-QUR’AN
Kata jiwa
di dalam al-Quran disebutkan lebih dari 250 kali dengan berbagai varian
(perubahan) katanya. Di antaranya Al-Fi’l (kata kerja) seperti تنفس إذا, al-Ism (kata benda), baik isim al-nakirah
نفس, Isim al-ma’rifah المتنافسون , mufrad نفسا ataupun jamak الأنفس,
serta yang bergandengan dengan damir seperti نفسي,
أنفسكم .
Dengan
jumlahnya yang lebih dari dua ratus lima puluh kali, dapat dipastikan bahwa
lafaz al-nafs mempunyai arti yang lebih dari satu dan maksud yang beragam,
yakni:
1. Al-Qalb (Hati), terdapat pada Q.S.
Qaf : 16
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ
وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ
الْوَرِيدِ ...
2. Minkum (dari kalian) terdapat pada
Q.S. Al-Taubah : 128
لَقَدْ جَاءَكُمْ
رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُم...
3. Al-Insan (manusia), terdapat pada
Q.S. al-Maidah : 32
مَنْ قَتَلَ نَفْسًا
بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ
جَمِيعًا...
4. Ba’dukum (sebagian di antara
kalian), terdapat pada Q.S. al-Baqarah/2:54
فَتُوبُوا إِلَى بَارِئِكُمْ
فَاقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ عِنْدَ بَارِئِكُمْ...
5. Al-Ruh (roh), terdapat pada Q.S.
al-Zumar : 42
اللَّهُ يَتَوَفَّى
الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا...
6. Ahli al-Din (ahli agama), terdapat
pada Q.S. Al-Nisa :29
وَلَا تَقْتُلُوا
أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا...
7. Diri manusia, terdapat pada Q.S.
al-Nisa : 66
وَلَوْ أَنَّا
كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ
دِيَارِكُمْ...
8. ‘Uqubat (balasan/hukuman), terdapat
pada Q.S. Ali Imran/3 :28
وَيُحَذِّرُكُمُ
اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ...
9. Al-Umm (ibu), terdapat pada Q.S.
Al-Nur : 12
لَوْلَا إِذْ
سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا
وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ ...
10. Al-Gaib (gaib), terdapat pada Q.S. al-Maidah/4: 116
تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا
أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ
2.
BIOGRAFI
AL-FARABI
Al-Farabi
seorang filsuf islam yang memiliki nama asli Abu Nasir bin Al-Farakh Al-Farabi
yang berasal dari Farab, Kazakhstan. Farabi merupakan seorang Syi’ah Imamiyah
yaitu salah satu aliran dalam islam dimana yang menjadi dasar aqidah adalah
soal imam yang berasal dari turki.
Ada juga pendapat lain Al-Farabi, nama lengkapnya adalah
Abu Nashir Muhammad ibnu Muhammad ibnu Tarkhan ibnu Auzalayh, yang biasa di
singkat menjadi Al-Farabi. Ia dilahirkan di Wasij, Distrik Farab, Turkistan
pada tahun 275 H/870 M. Sejak kecil, Al-Farabi sudah menguasai beberapa bahasa
antara lain bahasa Iran, Turkestan dan Kurdistan. Setelah besar, Al-Farabi
meninggalkan negerinya menuju Baghdad. Di Bagdad ia belajar kaidah-kaidah
bahasa Arab kepada Abu Bakar Al-Saraj dan belajar logika dan filsafat kepada
seorang Kristen yang bernama Abu Bisyr Mattius Ibn Yunus. Sesudah itu ia pindah
ke Harran salah satu Kebudayaan Yunani di Asia kecil untuk berguru kepada
Yuhanna bin Jilan. Tetapi tidak lama kemudian ia meninggalkan kota itu dan
kembali ke Baghdad untuk mendalami filsafat sesudah ia menguasai ilmu mantiq
(logika). Di Baghdad ia berdiam selama 30 tahun. Selama waktu itu, ia memakai
waktunya untuk mengarang, memberikan pelajaran dan mengulas buku-buku filsafat.
Pada tahun 330 H (941 M) ia pindah ke Damsik dan disini ia mendapat kedudukan
yang baik dari Saipudautah, Khalifah Dinasti Hamdan. Dan ia menetap di kota ini
sampai wafatnya pada tahun 337 H (950 M) pada usia 80 tahun.
3.
KARYA
ALFARABI
Selama
hidupnya al Farabi banyak berkarya, jika ditinjau dari ilmu pengeahuan karya
Al-Farabi dibagi menjadi 6 bagian yaitu :
1. Logika
2. Ilmu-ilmu
Matematika
3. Ilmu
Alam
4. Theologi
5. Ilmu
Politik dan Kenegaraan
6. Bunga
Rumpai
Karyanya
yang paling terkenal adalah Al Madinah Al-Fadhilah yang berarti kota atau
Negara yang utama yang membahas tentang pencapaian kebahagiaan melalui
kehidupan politik.
4.
KEDUDUKAN
JASAD MENURUT AL-FARABI
Manusia
merupakan makhluk yang paling mulia. Ia terdiri dari dua unsure yaitu jasad dan
jiwa. Jasad berasal dari alam ciptaan dan jiwa berasal dari alam perintah.
Berdasarkan perbedaan antara jiwa dan badan
bahwa peran dari jiwa lebih penting dari pada badan atau jasad. Sehingga
al Farabi lebih menekankan perhatiannya dalam membahas hal-hal yang berkaitan
dengan jiwa, yang dianggap sebagai hakikat manusia.
5.
JIWA
(NAFS) DAN RUH MENURUT AL FARABI
Jiwa adalah jauhar rohani sebagai from
bagi jasad. Kesatuan keduanya merupakan kesatuan secara accident,
artinya masing-masing keduanya mempunyai subtansi yang berbeda dan binasanya
jasad tidak membawa binasa jiwa. Jiwa manusia disebut dengan al-nafs
al-nathiqoh, berasal dari alam illahi sedangkan jasad berasal dari alam
khaliq, berbentuk, berupa berkadar, dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad
siap menerimanya.
Bagi al-Farabi , jiwa manusia
mempunyai daya – daya sebagai berikut.
1. Daya al-Muharrikat (gerak)
daya ini mendorong untuk makan, memelihara dan berkembang
2. Daya al-Mudrikat (mengetahui)
daya ini yang mendorong untuk merasa dan berimajinasi
3. Daya al-Nathiqat (berpikir)
daya ini yang mendorong untuk berpikir secara teoritis dan praktis.
Daya
teoritis terdiri dari tiga tingkatan, sebagai berikut ini:
a.
Akal Potensial (al–Hayulany)
ialah akal yang baru mempunyai potensi berpikir dalam arti, melepaskan
arti-arti atau berbentuk-bentuk materinya.
b. Akal Aktual (al–Aql bi al-fi’i)
akal yang telah dapat melepaskan arti – arti dari materinya, dan arti-arti itu
telah mempunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk
potensial, tetapi dalam bentuk aktual.
c.
Akal Mustafad (al-Aql al-Mustafad).
Akal yang telah dapat menangkap bentk
semata-mata yang tidak dikaitkan dengan materi dan mempunyai kesanggupan untuk
mengadakan komunikasi dengan akal kesepuluh.
A. RIWAYAT
HIDUP IBNU SINA
Nama lengkap Ibnu Sina adalah
Abu ‘Ali-Husain ibnu ‘Abdullah ibn Hasan ibnu ‘Ali ibnu Sina. Pemikiran Ibnu
Sina tentang jiwa bersumber pada pemikirannya tentang akal pertama. Ibnu Sina
berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat: Berlainan dengan Al-Farabi
bagi Ibnu Sina akal pertama mempunyai dua sifat: sifat wajib wujudnya sebagai
pancaran dari Allah, dan sifat mumkin wujudnya jika ditinjau dari hakikat
dirinya. Dengan demikian Ibnu Sina membagi objek pemikiran akal-akal
menjadi Tiga : Tuhan (wajib al-wujud li dzatihi), dirinya akal-akal (wajib
al-wujud li ghairihi) sebagai pancaran dari Tuhan, dan dirinya akal – akal
(mungkin al – wujud) ditinjau dari hakikat dirinya.
Di barat populer dengan sebutan Avecina akibat
terjadinya metamorfose Yahudi-Spayol-Latin. Ibnu Sina sejak usia muda telah
menguasai beberapa ilmu seperti matematika, logika, fisika, kedokteran,
astronomi, hukum dan lain-lainnya. Ketika Ibnu Sina berusia 17 tahun dia telah
memahami teori kedokteran, karena kepintarannya ini, ia diangkat sebagai
konsultan dokter-dokter praktisi. Ia juga pernah diangkat menjadi menteri oleh
Sultan Syam Al-Dawlah yang berkuasa di Hamdan.[1][7] Di antara guru yang mendidiknya ialah
Abu Abdullah Al-Natili dan Ismail Sang Zaid. Ibnu Sina secara tidak langsung
berguru kepada Al-Farabi. Ibnu Sina merupakan pewaris filsafat Neoplatonisme
Islam yang dikembangkan Al-Farabi.
Dengan istilah lain, Ibnu Sina adalah pelanjut dan pengembang filsafat Yunani
yang sebelumnya telah di rintis Al-Farabi, Atas keberhasilan Ibnu Sina dalam
mengembangkan pemikiran filsafat sehingga dapat dinilai bahwa filasafat di
tangannya telah mencapai puncaknya, dan karena prestasinya itu ia berhak
memperoleh gelar kehormatan dengan sebutan al Syikh al-Ra’is.[2][8]
B.
AL- NAFS (jiwa)
Asal usul jasad dan nafs
Ibnu
Sina menyimpulkan bahwa manusia tersusun dari jasad dan nafs. Jasad manusia
sebagai mana jasad tumbuh-tumbuhan terdiri dari empat unsure, yaitu api, udara,
air, dan tanah kering. Perbedaan proses formulasi dan perbedaan pengaruh
potensi astronomik (al-quwa al-falakiyat) menyebabkan perbedaan antara jasad manusia,
hewan, dan tumbuh-tumbuhan dan sekaligus menyebabkan perbedaan tingkat nafs
yang memberi kesempurnaan primer pada masing-masing jasad tersebut. Ibnu Sina
memiliki dua pendapat tentang asal usul nafs, ia menyatakan bahwa nafs baru
terjadi setelah jasad siap menerimanya. Menurut Ibnu Sina, nafs tidak terdapat
dalam keadaan terpisah dari jasad, dengan kata lain setiap jasad memiliki nafs
yang memang spesifik baginya. Selain itu, juga mengemukakan pendapat yang berlawanan
dengan pendirian ini. Menyebutkan bahwa nafs itu “habatat ilayk min al-mahall
al-arfa”. Menurut Ibnu Sina, nafs dalam jasad bagaikan burung yang terkurung
dalam sangkar. Merindukan kebebasannya di alam lepas, menyatu kembali dengan
alam rokhani, alam asalnya. Setiap kali ia mengingat alam asalnya, ia pun
menangis karena rindu ingin kembali.
Kata jiwa dalam Al-Qur’an dan Hadist
diistilahkan dengan Al-Nafs atau Al-Ruh terekam dalam surat Shad: 71-72,
al-Isra’: 85 dan al-Fajr: 27-30. Jiwa manusia, sebagai jiwa-jiwa lain dan
segala apa yang terdapat di bawah rembulan, memancar dari akal sepuluh. Adapun
secara garis besarnya pembahasan Ibnu Sina tentang jiwa sebagai berikut.
1.
Fisika, membicarakan tentang jiwa
tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia.[3][12]
a.
Jiwa
tumbuh-tumbuhan mempunyai tiga jiwa
yaitu: makan (Nutrition), Tumbuh (growth), berkembang biak (reproduction)
b.
Jiwa binatang mempunyai
·
Gerak (locomotion)
·
Menangkap (perception) dengan dua
bagian : Menangkap dari luar dengan panca indera dan menagkap dari dalam
dengan indera – indera dalam.
·
Indera bersama yang menerima segala apa yang di
tangkap oleh panca indera
·
Representasi yang menyimpan segala apa yang di
terima indera bersama.
·
Imaginasi yang dapat menyusun apa yang di
simpan dalam representasi
·
Estimasi yang dapat menangkap hal – hal abstrak
yang terlepas dari materi, umpamanya keharusan lari bagi kambing dari Anjing
Srigala.
c.
Jiwa manusia mempunyai dua daya yaitu praktis
dan teoritis. Daya praktis hubungannya dengan jasad sedangkan daya teoritis
hubungannya dengan hal-hal yang abstrak. Daya teoritis ini mempunyai empat
tingkatan yaitu:
·
Akal materiil yang semata-mata mempunyai
potensi untuk berfikir dan belum di latih sedikitpun.
·
Intelektualin habits, yang telah mulai di latih
untuk berfikir tentang hal-hal abstrak.
·
Akal actual yang telah dapat berfikir tentang
hal-hal abstrak.
2. Metafisika,
membicarakan tentang hal-hal berikut.
a. Wujud
Jiwa
Untuk membuktikan adanya jiwa Ibnu Sina
mengemukakan empat dalil yaitu
-
Dalil
dalam kejiwaan.
Pada dalil ini didasarkan pada fenomena gerak
dan pengetahuan. Gerak ada dua macam:
·
Gerak paksaan yaitu gerak
yang ditimbulkan akibat dorongan dari luar.
·
Gerak bukan paksaan, dan
gerak ini terbagi menjadi dua yaitu:
Ø Gerak yang sesuai dengan
hukum alam seperti, jatuhnya batu dari atas ke bawah
Ø Gerak yang terjadi dengan melawan hukum alam.
-
Dalil aku dan kesatuan gejala kejiwaan
Menurut Ibnu Sina apabila seorang sedang membicarakan
tentang dirinya atau mengajak bicara orang lain, maka yang di maksud ialah
jiwanya, bukan badannya. Jadi ketika menyatakan saya keluar atau tidur maka
bukan gerak kaki, atau pemejaman mata yang dimaksud tetapi hakikat kita dan
seluruh pribadi kita.
-
Dalil
kelangsungan (kontinuitas)
Dalil ini menyatakan bahwa masa kita sekarang
berisi juga masa lampau dan masa depan. Kehidupan rohani kita pada pagi ini ada
hubungannya dengan kehidupan kita yang kemarin, dan hubungannya ini tidak
terputus oleh tidur kita, bahkan juga ada hubungannya dengan kehidupan kita
yang terjadi beberapa tahun yang lewat. Dalil kelangsungan Ibnu Sina ini telah
membuka ciri kehidupan yang khas dan mencerminkan penyelidikan dan pembahasan
yang mendalam, bahkan telah mendahului masanya beberapa abad.
-
Dalil orang terbang atau tergantung di udara.
Dalil ini adalah yang terindah dari Ibnu Sina
dan yang paling jelas menunjukkan daya kreasinya. Meskipun dalil tersebut di
dasarkan atas perkiraan dan khayalan, namun tidak mengurangi kemampunnya untuk
memberikan keyakinan. Dalil tersebut mengatakan sebagai berikut: Andaikan ada
seorang tercipta sekali jadi dan
mempunyai wujud yang sempurna, kemudian di letakkan di udara dengan mata
tertutup. Ia tidak merasakan aapapun. Dalam kondisi demikian, ia tetap yakin
bahwa dirinya ada. Di saat itu ia menghayalkan adanya tagan, kaki dan organ
jasad lainnya, tetapi semua organ jasad tersebut ia khayalkan bukan bagian dari
dirinya. Dengan demikian, berarti penetapan tentang wujud dirinya bukan hal
dari indera dan jasmaninya, melainkan dari sumber yang berbeda dengan jasad,
yakni jiwa. Dalil Ibnu Sina tersebut seperti halnya dengan dalil Descartes,
didasarkan atas suatu hipotesa, bahwa pengenalan yang berbeda- beda
mengharuskan adanya perkara-perkara yang berbeda-beda pula. Seseorang dapat
melepaskan dirinya dari segala sesuatu, kecuali dari jiwanya yang menjadi dasar
kepribadian dan dzatnya sendiri. Kalau kebenaran sesuatu dalam alam ini kita
ketahui dengan adanya perantara (tidak langsung), maka satu kebenaran saja yang
kita ketahui dengan langsung, yaitu jiwa dan kita tidak bisa meragukan tentang
wujudnya, meskipun sebentar saja, karena pekerjaan- pekerjaan jiwa selamanya
menyaksikan adanya jiwa tersebut.
Nafs : Hakikat, Fungsi, dan Alasan Pembedaannya dengan Jasad
Ibnu Sina
menyatakan bahwa nafs al-insan ialah kesempurnaan primer bagi
jasad alami yang organis dari segi melakukan berbagai aktifitas yang ada dengan
dasar ikhtiar fikri dan mengambil kesimpulan dengan nalar, serta dari segi
mengetahui hal-hal yang universal (kamal awwal li jism thabi’iy ‘alamiy min
jihat ma yaf’al al-af’al al-kainat bi al-ikhtiyar al-fikriy wa al-istimbat bi
al-ra’y wa min jihat ma yudrik al-umur al-kulliyat). Ibnu Sina menyebut
nafs sebagai kesempurnaan karena nafs itu dipandang sebagai kamal dari
segi sebagai potensi yang memberikan kesempurnaan pada persepsi serta sebagai
sumber berbagai aktifitas. Demikian pula nafs yang terpisah juga disebut kamal,
seperti juga nafs yang tidak terpisah. Adapun nafs disebut sebagai kesempurnaan
primer dimaksudkan sebagai kausal bagi species menjadi species, sedang
kesempurnaan skunder merupakan atribut pengikat pada species. Sementara itu
istilah jism digunakan dalam arti genusnya bukan fisik materialnya, sedang kata
thabi’iy dipakai untuk membedakan dari jisim sinaiy
(artifisial), demikian penjelasan Rayyan dalam kajiannya terhadap Ibn Sina.
Definisi jiwa
yang telah dikemukakan oleh Ibnu Sina di atas tidak berbeda dengan pengertian
yang diberikan al-Farabi yang sumber asalnya tidak lepas dari konsep
Aristoteles. Namun Ibnu Sina menafsirkan kesempurnaan tidak dalam arti
sebagai forma seperti konsep Aristoteles yang tidak dapat dipisahkan dari
materi. Berdasarkan konsep Aristoteles ini, nafs dalam arti forma akan turut
hancur dengan hancurnya jasad fisik, ketika mati. Ibnu Sina menjelaskan bahwa
memang forma itu merupakan kesempurnaan bagi jasad tetapi tidak berarti semua
kesempurnaan itu adalah forma. Jadi nafs sebagai kesempurnaan jisim menurut
Ibnu Sina, berbeda dengan nafs sebagai forma menurut Aristoteles. Dengan
demikian, nafs bukanlah seperti jasad, tetapi ia adalah substansi rohani Lebih
jauh lagi ditegaskan sebagaimana dikemukakan oleh Rahman, bahwa bagi
Aristoteles, jiwa tidak dapat terpisah secara independen dari badan, ia adalah
“the intelechy of a natural organized body”. Formula ini harus tidak dipahami
dalam arti bahwa semula terdapat badan yang sudah terbentuk, kemudian jiwa
datang dan memasukinya. Sebenarnya jiwa itu sendiri yang – sebagai suatu
prinsip yang immanent – telah membentuk jasad, memberikan karakter spesifik,
dan membuatnya sebagai apa adanya. Sebagaimana telah dijelaskan pada uraian
sebelumnya, pandangan Aristoteles ini memperoleh perspektif baru di tangan Ibnu
Sina dengan kekalnya nafs setelah jasad mengalami kematian. Ibnu Sina
mengemukakan beberapa alasan untuk mendukung pendiriannya bahwa nafs memiliki
eksistensi sendiri, tidak inheren dan sebentuk dengan jasad.
Pertama, Dalil
Natural-Psychology, suatu dalil yang berpijak pada perlawanan terhadap gerak
natural, dan dalil berikutnya yang berpijak pada capaian pengetahuan (idrak).
Di antara berbagai gerak, terdapat suatu gerak yang melawan hukum alam (kajian
moderen menyebut gravitasi) : manusia berjalan, burung terbang. Gerak demikian
menghendaki adanya penggerak khusus yang melebihi unsur-unsur benda yang
bergerak, yakni nafs. Idrak tidak dimiliki semua makhluk, tetapi hanya
dimiliki oleh sebagiannya saja. Ini menunjukkan adanya kekuatan pembeda antara
sebagian dan sebagian yang lain. Kekuatan pembeda tersebut ialah nafs.
Kedua, Dalil
Istimrar (continuity) suatu dalil yang menyatakan bahwa berbeda
dengan jasad yang mengalami perubahan (dengan kematian serta lahirnya sel-sel
baru, menurut bahasa kajian moderen), nafs tidak pernah mengalami perubahan dan
pergantian seperti itu. Demikian Ibn Sina dalam risalahnya yang disebut oleh
Ahwani.
Ketiga, Manusia
Terbang, suatu dalil yang menyatakan bahwa andaikata orang yang secara organik
sempurna berada di angkasa dalam keadaan mata tertutup tidak mengetahui
apa-apa, tidak merasakan sentuhan apapun – termasuk dengan anggota badan sendiri
– ia tetap yakin terhadap eksistensi dirinya. Dalam keadaan seperti itu jika ia
menghayalkan adanya tangan atau anggota tubuh lainnya, maka ia tidak akan
menghayalkan sebagai bagian atau syarat bagi eksistensi dirinya. Ini
membuktikan bahwa wujud nafs itu berbeda dengan, bahkan bukan jasad. Selain
dalam al-Isyarat, (Juz I : 121) Ibnu Sina mengemukakan versi lain
dalam al-Syifa’ sebagaimana didapati dalam Avecinna’s Psychology.
Keempat, Dalil
ke Akuan dan Penyatuan Gejala Kejiwaan. Dalil keakuan menyatakan bahwa
pemilikan dengan formulasi “..ku” ketika suatu aktifitas terjadi – misalnya
mengambil dengan tanganku – menunjukkan bahwa aku, ku atau pribadi bukanlah
kadar atau peristiwa-peristiwanya yang dimaksudkan, melainkan nafs dan
kekuatannya. Sedang dalil penyatuan gejala kejiwaan menyatakan bahwa perasaan
dan aktifitas manusia sangat beragam, bahkan juga saling bertentangan –
misalnya sedih, dan senang – tetapi semua itu dapat terjadi pada satu diri. Ini
hanya dapat terjadi jika dalam diri tersebut terdapat suatu pengikat yang
menyatukan keseluruhannya (ribath yajma’ baynaha kullaha). Pengikat
tersebut ialah nafs.[19]
Dengan
bukti-bukti seperti diuraikan di atas, Ibn Sina sampai pada kesimpulan bahwa
nafs manusia memiliki eksistensi sendiri, suatu eksistensi yang bersifat
immateri yang memberikan kesempurnaan terhadap jasad yang bersifat materi. Ini
berarti secara tidak langsung ia menolak pendekatan materialisme dalam memahami
nafs manusia. Lebih jauh penting untuk dikemukakan bahwa di antara bukti-bukti
tersebut di atas terdapat kemiripan dengan kajian-kajian modern, khususnya di
bidang filsafat. Dalil orang terbang misalnya, mirip dengan “cogito”,
suatu dalil yang lahir dari renungan Descartes, sekalipun secara substansial
terdapat perbedaan penting antara keduanya. Para ahli sejarah filsafat memang
telah menunjukkan affinitas alasan Ibn Sina dengan cogito ergo sumnya
Descartes. Dalam hal ini Rahman menjelaskan bahwa baik Ibn Sina maupun
Descartes diilhami oleh pemikiran Plotinus tentang keterpisahan jiwa dari
tubuh. Namun demikian terdapat perbedaan pokok antara apa yang dirumuskan Ibn
Sina dan cogito Descartes. Bagi Descartes antara ‘ I think “ dan
I am” mempunyaia kesamaan makna. Dalam hal ini jelas bahwa kesadaran diri
dan keberadaannya secara logis tak dapat dipisahkan. Berbeda dengan Descartes,
Ibn Sina memandang unsur kesadaran itu ada sejak seseorang dapat mengukuhkan
eksistensinya sendiri yang betatapun ada hanyalah sebagai cara menempati diri,
ia adalah kenyataan yang mungkin, dan bukan suatu kemestian yang logis.
Sesungguhnya Ibn Sina berada di antara Descartes dan Plotinus; karena bagi
Plotinus kesadaran – sebagai suatu hubungan -menandakan bukan identitas diri
yang jelas, tetapi semacam ke-lain-an; dalam identitas diri yang penuh,
kesadaran mesti berhenti. Mengenai keorisinalan dalil cogito Descartes
di atas, para pembahas berbeda-beda pendapat. Namun terlepas dari perbedaan
ini, yang jelas Ibn Sina dengan Manusia Terbangnya telah mendahului cogito
Descartes.
Nafs: Hubungannya dengan Jasad di Alam Fenomenal dan AlamTransendental
Sebagaimana
telah dikemukakan pada uraian-uraian sebelumnya, Ibn Sina memandang bahwa nafs
adalah substansi immateri yang muncul dari intelegensi aktif bersama dengan
munculnya suatu tubuh yang kemudian bertindak sebagai kamal awwal.
Kemunculan suatu nafs bersifat sedemikian spesifik diperuntukkan bagi tubuh
tertentu. Ia adalah substansi immateri yang independen bagi jasad yang diasuhsempurnakan
berhadapan dengan nafs lain bagi tubuh lain pula. Dengan kata lain, Ibn Sina
menolak paham reinkarnasi (al-tanasukh) sebagaimana dikemukakan dalam
al-Shifa’. Demikian itu karena pada taraf fenomenal di antara nafs dan jasad
terdapat suatu mystique yang secara eksklusif menjadikan keduanya
serasi, sehingga reinkarnasi tidak mungkin terjadi. Dengan demikian mystique
ini merupakan sebab dan akibat dari individualitas diri. Oleh sebab itu, Ibn
Sina menolak sepenuhnya pandangan tentang identitas yang mungkin dari dua jiwa
atau dari ego yang terlebur dengan ego Ilahi, ia menekankan bahwa kelanjutan
hidupnya mestilah bersifat individual.
Menurut Ibn
Sina antara jasad dan nafs memiliki korelasi sedemikian kuat, saling bantu
membantu tanpa henti-hentinya. Nafs tidak akan pernah mencapai tahap fenomenal
tanpa adanya jasad. Begitu tahap ini dicapai ia menjadi sumber hidup, pengatur,
dan potensi jasad, bagaikan nakhoda (al-rubban) begitu memasuki kapal
ia menjadi pusat penggerak, pengatur dan potensi bagi kapal itu. Jika bukan
karena jasad, maka nafs tidak akan ada, karena tersedianya jasad untuk
menerima, merupakan kemestian baginya wujudnya nafs, dan spesifiknya jasad
terhadap nafs merupakan prinsip entitas dan independennya nafs. Tidak mungkin
terdapat nafs kecuali jika telah terdapat materi fisik yang tersedia untuknya.
Sejak pertumbuhannya, nafs memerlukan, tergantung, dan diciptakan karena
(tersedianya) jasad. Dalam aktualisasi fungsi kompleknya, nafs mempergunakan
dan memerlukan jasad, misalnya berpikir yang merupakan fungsi spesifiknya tak
akan sempurna kecuali jika indera turut membantu dengan efeknya.
Bagi
Aristoteles tubuh memiliki pengaruh terhadap fenomena mental. Tampaknya
ungkapan “mens sana in corpore sano” dapat diperkirakan sejalan
dengan – jika bukan sebagai – formulasi pemikiran Aristoteles tersebut.
Demikian ini disebabkan isi ungkapan tersebut menunjukkan bahwa kesehatan jiwa
merupakan akibat logis dari adanya jasad yang sehat. Berbeda dengan pandangan
Aristoteles, Ibn Sina menekankan pengaruh pikiran yang merupakan fungsi primer
nafs terhadap jasad yang begitu luar biasa. Menurut Rahman, inilah salah satu
dari segi paling orisinal filsafat Ibn Sina. Pandangan Ibn Sina ini tentu saja
tidak mengurangi kedudukannya sebagai ahli medis yang telah merekam kajian
empirisnya tentang ilmu kedokteran dalam al-Qanun fi al-Thibnya.
Bahkan pandangannya bahwa pikiran mempunyai pengaruh yang luar biasa
terhadap fisik tersebut telah mengantarkan Ibn Sina sebagai ilmuan peletak
dasar psychosomatic yang dewasa ini cukup menjadi perhatian bagi upaya
penyembuhan, termasuk juga di dunia kedokteran sendiri.
Berdasarkan
pengalaman medisnya, Ibn Sina menyatakan bahwa sebenarnya secara fisik
orang-orang sakit, hanya dengan kekuatan kemauannyalah dapat menjadi sembuh.
Begitu juga orang yang sehat, dapat benar-benar menjadi sakit bila terpengaruh
oleh pikirannya bahwa ia sakit. Demikian pula, jika sepotong kayu diletakkan
melintang di atas jalan sejengkal, orang dapat berjalan di atas kayu tersebut
dengan baik. Akan tetapi jika kayu diletakkan sebagai jembatan yang di bawahnya
terdapat jurang yang dalam, orang hampir tidak dapat melintas di atasnya, tanpa
benar-benar jatuh. Hal ini disebabkan ia menggambarkan kepada dirinya sendiri
tentang kemungkinan jatuh sedemikian rupa, sehingga kekuatan alamiah jasadnya
menjadi benar-benar seperti yang digambarkan itu. Demikian Ibn Sina dalam al-Shifa’nya.
Korelasi antara
nafs dan jasad, menurut Ibn Sina tidak terdapat pada satu individu saja. Nafs
yang cukup kuat, bahkan dapat menyembuhkan dan menyakitkan badan lain tanpa
mempergunakan sarana apapun. Dalam hal ini ia menunjukkan bukti fenomena
hipnotis dan sugesti (al-wahm al’amil) serta sihir. Mengenai masalah
ini, Hellenisme memandang sebagai benar-benar ghaib, sementara Ibn Sina mampu
mengkaji secara ilmiah dengan cara mendeskripsikan betapa nafs yang kuat itu
mampu mempengaruhi fenomena yang bersifat fisik. Dengan demikian ia telah
berlepas diri dari kecenderungan Yunani yang menganggap hal-hal tersebut sebagai
gejala paranatural, pada campur tangan dewa-dewa.[26]
Sekalipun pada
tahap fenomenal, dalam mengaktualisasikan keindividualannya nafs memerlukan
bantuan fisik – sekaligus berdampak balik sebagai kesempurnaan bagi fisik
itu sendiri, namun dalam tahap transendental yang dimulai dengan peristiwa
kematian, nafs tidak lagi menghajatkan jasad. Demikian ini disebabkan oleh
adanya kenyataan bahwa jasad bukanlah merupakan causa prima (‘illlat)
bagi nafs, juga karena nafs itu sendiri bersifat immateri (ruhaniyyat)
lagi halus (basitah), suatu entitas tak tersusun. Dengan keadaan dan
sifatnya seperti itu, nafs tidak turut hancur bersama kematian jasad, bahkan
pada tahap transendental itu nafs berada pada alam kekalnya. Dalam hal ini Ibn
Sina memiliki pemikiran filosofis yang berbeda dengan pendirian baik
Aristoteles maupun al-Farabi. Bagi Aristoteles, pada tahap transendental
tersebut hanya al-‘aql al-fa’’al (the active intellect) yang
kekal, sedang bagi al-Farabi yang kekal hanya al-‘aql al-mustafad (the
acquired intellect). Sementara itu Ibn Sina berpendirian bahwa nafs
manusia yakni al-nafs al-natiqah dengan semua potensinya merupakan
substansi immateri yang kekal abadi, tak mengalami kerusakan sama sekali.[27]
Pemikiran
filosofis Ibn Sina tentang kekal abadinya nafs tampaknya terkait dengan ajaran
Islam tentang kekekalabadiannya surga dan neraka, dan tentu saja pemikiran
skolastik tersebut merupakan upaya filosof ini membangun pemahaman terhadap
Islam di atas dasar pemikiran yang sangat mendalam. Namun ketika Ibn Sina
sampai pada pendirian bahwa nafs pada tahap transendental ini tidak lagi
berhajat pada jasad – yang oleh karena itu ia menolak adanya kebangkitan
jasmani, tak terhindarkan lagi muncul polemik filosofis yang berkepanjangan.
Al-Ghazali hadir menggugat pendirian Ibn Sina tersebut dengan Tahafut
al-Falasifah , Ibn Rushd –sekalipun dalam batas-batas tertentu juga
mengkritik Ibn Sina—dengan Tahafut al-Tahafutnya berusaha mengadakan
pembelaan terhadap al-Shayk al-Rais ini.
Dewasa ini,
pertentangan pemikiran filosofis tentang kebangkitan jasmani memperoleh dimensi
baru dalam perspektif fisika modern. Sebagaimana diketahui sejak lama fisika
modern telah membuktikan bahwa materi dapat berubah menjadi energi, logikanya
demikian pula sebaliknya. Keduanya dibedakan oleh tingkat kepadatjarangan
belaka; jika energi memadat, berubah menjadi materi, dan jika materi menjarang,
berubah menjadi energi. Dengan demikian dewasa ini tidak lagi dibedakan secara
substansial antara materi dan immateri. Jika hal ini analog dengan kematerian
jasad dan keimmaterian nafs, tentu tidak relevan lagi mempertentangkan manakah
yang nanti akan dibangkitkan, nafs dan jasad atau nafs saja. Bahkan sebelum jasad
mencapai tahap fenomenal dalam entitas kematerialannya, secara substansial ia
berwujud immateri – yang baik menurut al-Farabi maupun Ibn Sina – melalui pola
cipta emanasi. Begitu tahap fenomenal mulai dialami oleh wujud immateri
kejasadan tersebut, terjadilah perubahan ke arah perwujudan materi. Dengan
demikian persoalan materi-immateri ini hanyalah persoalan perubahan kuantitas
dan forma belaka, bukan persoalan perubahan kualitas substansial. Konsekwensi
kajian seperti ini tentulah menjadikan dualisme kejasad-nafsan manusia terbatas
semata-mata pada tahap fenomenal. Sedangkan pada tahap transendental, dualisme
itu mengalami perubahan yang sangat mendasar, sebab tidak lagi dalam arti
manusia tersusun dari jasad material dan nafs immaterial, tetapi dalam arti
manusia yang sekalipun bermula dari dua unsur tersebut, telah berubah menjadi
suatu entitas yang tak terbagi. Apakah entitas yang tak terbagi ini bersifat
immateri, materi, atau pada masanya kelak berubah kembali menjadi bersifat
dualisme materi dan immateri yang terpadu, bukan merupakan suatu persoalan,
sebab secara substansial tidak ada lagi perbedaan antara materi dan immateri.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kesimpulan Al-Farabi
Tentang bahagia dan sengsaranya jiwa, Al-Farabi mengaitkan
dengan filsafat negara utamanya. Bagi jiwa yang hidup pada negara utama, yaitu
jiwa yang kenal dengan Allah dan melaksanakan perintah – perintah Allah, maka
jiwa ini, menurut Al-Farabi akan kembali ke alam nufus (alam kejiwaan
dan abadi dalam kebahagian). Jiwa yang hidup pada negara fasiqah, yakni jiwa
yang kenal dengan Allah, tetapi tidak melaksanakan segala perintah Allah, ia
akan kembali ke alam Nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kesengsaraan.
Sementara itu jiwa yang hidup pada negara jahiliyah, yakni jiwa yang tidak
kenal sama sekali dengan Allah dan tidak pula pernah melaksanakan perintah
Allah, ia akan lenyap bagaikan hewan.
Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan
jasad. Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah jasad sebagai alatnya. Tetapi
para ahli membedakan antara ruh dan jiwa. Ruh berasal dari kata illahi yang
artinya kembali ke asal semula. Ruh bersifat kerohanian yang suci . ruh dalam
diri manusia merupakan sumber akhlak yang baik dan terpuji sedangkan jiwa
adalah sumber akhlak tercela.
Kesimpulan Ibnu Sina
Berdasarkan
uraian yang telah dikemukakan, disimpulkan sebagai berikut. Menurut Ibnu Sina
manusia pada tahap fenomenal terdiri dari jasad dan nafs. Korelasi antara nafs
dan jasad bersifat interaksionis, dalam arti masing-masing saling memerlukan.
Hanya saja nafs telah menjadi sedemikian kuat, ia dapat mempengaruhi
jasad dengan sangat luar biasa. Sementara itu dalam tahap transendental, nafs
dengan segala potensinya tetap kekal abadi biarpun jasad mengalami kehancuran
ketika tahap ini dimulai. Manusia menjadi suatu entitas yang tak terbagi yang
tidak lagi memerlukan jasad materi dalam tahap transendentalnya. Penolakan Ibn
Sina terhadap adanya kebangkitan jasmani menimbulkan pertentangan pemikiran
filosofis. Pertentangan ini memperoleh dimensi baru dalam perspektif kajian
fisika moderen yang telah membuktikan tidak adanya perbedaan substansial antara
materi dan immateri.
Daftar
Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar