Jumat, 09 Juni 2017

MAKALAH PENGERTIAN JASAD, RUH, DAN JIWA MENURUT AL-FARABI DAN IBNU SINA



BAB I
PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG
Tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran filsafat Islam terpengaruh oleh filsafat Yunani para filosof Islam banyak mengambil pikiran Aristoteles dan tertarik dengan pikiran Plotinus, sehingga banyak teori yang diambil. Memang demikianlah keadaan orang yang datang kemudian terpengaruh oleh orang-orang sebelumnya dan berguna kepada mereka. Akan tetapi berguru tidak berarti mengekor dan memngutip, sehingga harus dikatakan bahwa filsafat Islam kutipan dari Aristoteles atau neo-Platonisme. Dalam hal ini ialah pemikiran Ibnu Sina dan Al-Farabi tentang filsafat al-Farid dan Al-Nafs. Walaupun mereka mencangkok pemikiran para filosof Yunani tapi dalam memahami substansinya berbeda. Dimana mereka Ibnu farabi dan Ibnu Sina lebih Islami dan sesuai dengan Al-Qur'an.
Untuk lebih jelasnya, dalam makalah ini saya akan membatasinya pada kajian tertentu agar kita mempunyai cermin yang representatif dalam mengambil sebuah kebenaran dan pelajaran dari sejarah pemikiran Islam.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud tentang Ruh atau Jiwa menurut Al-Farabi?
2.      Apa yang dimaksud tentang Ruh atau Jiwa menurut Ibnu Sina?
3.      Apa perbedaan antara pendapat Al-Farabi dan Ibnu Sina mengenai Ruh atau Jiwa?

C.    TUJUAN PENELITIAN
1.      Untuk mengetahui pengertian ruh atau jiwa menurut Al-Farabi
2.      Untuk mengetahui pengertian ruh atau jiwa menurut Ibnu Sina
3.      Untuk memahami perbedaan antara pendapat Al-Farabi dan Ibnu Sina mengenai Ruh atau Jiwa



BAB II
PEMBAHASAN

A.    HAKIKAT TENTANG JIWA
      Jiwa adalah sesuatu yang maujud (ada), tetapi bagaimana wujudnya? Inilah yang berbeda di kalangan para filosof, theologi dan ahlu sunnah dan tasawwuf. Jika sebagian golongan ahlu hadits dan tasawwuf meyakini jiwa berbeda dengan ruh, maka sebagian yang lain dari para filosof Muslim justru menganggap jiwa dan ruh itu adalah sinonim. Letak perbedaan tersebut bisa dipahami karena adanya perbedaan pada disiplin ilmu. sehingga berbeda pula sudut pandangnnya.

B.     PENGERTIAN FISIK/BADAN/JASMANI/RAGA
Dalam kamus besar filsafat fisik atau badan memiliki pengertian:
1.      Dipakai sebagai sinonim dengan obyek material atau materi
     Misalnya: “benda yang sedang bergerak akan tetap bargerak”
2. Menunjukkan komposisi materi dari manusia untuk di bedakan dari pikiran, roh atau jiwa.
3.  Hal-hal yang dapat diamati secara inderawi di sekeliling kita disebut benda (bodies).
4.  Ciri umum dari semua benda adalah keluasan (kuantitas) dan mengisi suatu ruang tertentu.
5.  Kompenetrasi benda-benda sebenarnya berarti bahwa beberapa benda menempati ruang yang sama. Sebenarnya, kompenetrasi ini mustahil meskipun tidak mengandung kontradiksi di dalam dri sendiri (inner contradiction). Tidak ada kompenetrasi( dalam pengertian filosofis) dalam larutan kiamiawi atau di dalam persenyawaan gas-gas yang berlainan.

1.      JIWA DALAM AL-QUR’AN
            Kata jiwa di dalam al-Quran disebutkan lebih dari 250 kali dengan berbagai varian (perubahan) katanya. Di antaranya Al-Fi’l (kata kerja) seperti تنفس إذا, al-Ism (kata benda), baik isim al-nakirah نفس, Isim al-ma’rifah المتنافسون , mufrad نفسا  ataupun jamak الأنفس, serta yang bergandengan dengan damir seperti نفسي, أنفسكم .
            Dengan jumlahnya yang lebih dari dua ratus lima puluh kali, dapat dipastikan bahwa lafaz al-nafs mempunyai arti yang lebih dari satu dan maksud yang beragam, yakni:
1.      Al-Qalb (Hati), terdapat pada Q.S. Qaf : 16
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ  ...
2.      Minkum (dari kalian) terdapat pada Q.S. Al-Taubah : 128
 لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُم...
3.      Al-Insan (manusia), terdapat pada Q.S. al-Maidah : 32
 مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا...
4.      Ba’dukum (sebagian di antara kalian), terdapat pada Q.S. al-Baqarah/2:54
 فَتُوبُوا إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ عِنْدَ بَارِئِكُمْ...
5.      Al-Ruh (roh), terdapat pada Q.S. al-Zumar : 42
 اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا...
6.      Ahli al-Din (ahli agama), terdapat pada Q.S. Al-Nisa :29
 وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا...
7.      Diri manusia, terdapat pada Q.S. al-Nisa : 66
 وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيَارِكُمْ...
8.      ‘Uqubat (balasan/hukuman), terdapat pada Q.S. Ali Imran/3 :28
 وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ...
9.      Al-Umm (ibu), terdapat pada Q.S. Al-Nur : 12
 لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ ...
10.  Al-Gaib (gaib), terdapat pada Q.S. al-Maidah/4: 116
تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ

2.      BIOGRAFI AL-FARABI
Al-Farabi seorang filsuf islam yang memiliki nama asli Abu Nasir bin Al-Farakh Al-Farabi yang berasal dari Farab, Kazakhstan. Farabi merupakan seorang Syi’ah Imamiyah yaitu salah satu aliran dalam islam dimana yang menjadi dasar aqidah adalah soal imam yang berasal dari turki.
Ada juga pendapat lain Al-Farabi, nama lengkapnya adalah Abu Nashir Muhammad ibnu Muhammad ibnu Tarkhan ibnu Auzalayh, yang biasa di singkat menjadi Al-Farabi. Ia dilahirkan di Wasij, Distrik Farab, Turkistan pada tahun 275 H/870 M. Sejak kecil, Al-Farabi sudah menguasai beberapa bahasa antara lain bahasa Iran, Turkestan dan Kurdistan. Setelah besar, Al-Farabi meninggalkan negerinya menuju Baghdad. Di Bagdad ia belajar kaidah-kaidah bahasa Arab kepada Abu Bakar Al-Saraj dan belajar logika dan filsafat kepada seorang Kristen yang bernama Abu Bisyr Mattius Ibn Yunus. Sesudah itu ia pindah ke Harran salah satu Kebudayaan Yunani di Asia kecil untuk berguru kepada Yuhanna bin Jilan. Tetapi tidak lama kemudian ia meninggalkan kota itu dan kembali ke Baghdad untuk mendalami filsafat sesudah ia menguasai ilmu mantiq (logika). Di Baghdad ia berdiam selama 30 tahun. Selama waktu itu, ia memakai waktunya untuk mengarang, memberikan pelajaran dan mengulas buku-buku filsafat. Pada tahun 330 H (941 M) ia pindah ke Damsik dan disini ia mendapat kedudukan yang baik dari Saipudautah, Khalifah Dinasti Hamdan. Dan ia menetap di kota ini sampai wafatnya pada tahun 337 H (950 M) pada usia 80 tahun.

3.      KARYA ALFARABI
Selama hidupnya al Farabi banyak berkarya, jika ditinjau dari ilmu pengeahuan karya Al-Farabi dibagi menjadi 6 bagian yaitu :
1.      Logika
2.      Ilmu-ilmu Matematika
3.      Ilmu Alam
4.      Theologi
5.      Ilmu Politik dan Kenegaraan
6.      Bunga Rumpai
Karyanya yang paling terkenal adalah Al Madinah Al-Fadhilah yang berarti kota atau Negara yang utama yang membahas tentang pencapaian kebahagiaan melalui kehidupan politik.
4.      KEDUDUKAN JASAD MENURUT AL-FARABI
Manusia merupakan makhluk yang paling mulia. Ia terdiri dari dua unsure yaitu jasad dan jiwa. Jasad berasal dari alam ciptaan dan jiwa berasal dari alam perintah. Berdasarkan perbedaan antara jiwa dan badan  bahwa peran dari jiwa lebih penting dari pada badan atau jasad. Sehingga al Farabi lebih menekankan perhatiannya dalam membahas hal-hal yang berkaitan dengan jiwa, yang dianggap sebagai hakikat manusia.

5.      JIWA (NAFS) DAN RUH MENURUT AL FARABI
Jiwa adalah jauhar rohani sebagai from bagi jasad. Kesatuan keduanya merupakan kesatuan secara accident, artinya masing-masing keduanya mempunyai subtansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasa jiwa. Jiwa manusia disebut dengan al-nafs al-nathiqoh, berasal dari alam illahi sedangkan jasad berasal dari alam khaliq, berbentuk, berupa berkadar, dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.
Bagi al-Farabi , jiwa manusia mempunyai daya – daya sebagai berikut.
1.      Daya al-Muharrikat (gerak) daya ini mendorong untuk makan, memelihara dan berkembang
2.      Daya al-Mudrikat (mengetahui) daya ini yang mendorong untuk merasa dan berimajinasi
3.      Daya al-Nathiqat (berpikir) daya ini yang mendorong untuk berpikir secara teoritis dan praktis.
Daya teoritis terdiri dari tiga tingkatan, sebagai berikut ini:
a.       Akal Potensial (al–Hayulany) ialah akal yang baru mempunyai potensi berpikir dalam arti, melepaskan arti-arti atau berbentuk-bentuk materinya.
b.      Akal Aktual (al–Aql bi al-fi’i) akal yang telah dapat melepaskan arti – arti dari materinya, dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensial, tetapi dalam bentuk aktual.
c.       Akal Mustafad (al-Aql al-Mustafad). Akal yang telah dapat menangkap  bentk semata-mata yang tidak dikaitkan dengan materi dan mempunyai kesanggupan untuk mengadakan komunikasi dengan akal kesepuluh.



A.    RIWAYAT HIDUP IBNU SINA
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu ‘Ali-Husain ibnu ‘Abdullah ibn Hasan ibnu ‘Ali ibnu Sina. Pemikiran Ibnu Sina tentang jiwa bersumber pada pemikirannya tentang akal pertama. Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat: Berlainan dengan Al-Farabi bagi Ibnu Sina akal pertama mempunyai dua sifat: sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mumkin wujudnya jika ditinjau dari hakikat dirinya. Dengan demikian Ibnu Sina membagi objek pemikiran akal-akal menjadi Tiga : Tuhan (wajib al-wujud li dzatihi), dirinya akal-akal (wajib al-wujud li ghairihi) sebagai pancaran dari Tuhan, dan dirinya akal – akal (mungkin al – wujud) ditinjau dari hakikat dirinya.
 Di barat populer dengan sebutan Avecina akibat terjadinya metamorfose Yahudi-Spayol-Latin. Ibnu Sina sejak usia muda telah menguasai beberapa ilmu seperti matematika, logika, fisika, kedokteran, astronomi, hukum dan lain-lainnya. Ketika Ibnu Sina berusia 17 tahun dia telah memahami teori kedokteran, karena kepintarannya ini, ia diangkat sebagai konsultan dokter-dokter praktisi. Ia juga pernah diangkat menjadi menteri oleh Sultan Syam Al-Dawlah yang berkuasa di Hamdan.[1][7] Di antara guru yang mendidiknya ialah Abu Abdullah Al-Natili dan Ismail Sang Zaid. Ibnu Sina secara tidak langsung berguru kepada Al-Farabi. Ibnu Sina merupakan pewaris filsafat Neoplatonisme Islam yang dikembangkan  Al-Farabi. Dengan istilah lain, Ibnu Sina adalah pelanjut dan pengembang filsafat Yunani yang sebelumnya telah di rintis Al-Farabi, Atas keberhasilan Ibnu Sina dalam mengembangkan pemikiran filsafat sehingga dapat dinilai bahwa filasafat di tangannya telah mencapai puncaknya, dan karena prestasinya itu ia berhak memperoleh gelar kehormatan dengan sebutan al Syikh al-Ra’is.[2][8]

B.     AL- NAFS (jiwa)
Asal usul jasad dan nafs
Ibnu Sina menyimpulkan bahwa manusia tersusun dari jasad dan nafs. Jasad manusia sebagai mana jasad tumbuh-tumbuhan terdiri dari empat unsure, yaitu api, udara, air, dan tanah kering. Perbedaan proses formulasi dan perbedaan pengaruh potensi astronomik (al-quwa al-falakiyat)  menyebabkan perbedaan antara jasad manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan dan sekaligus menyebabkan perbedaan tingkat nafs yang memberi kesempurnaan primer pada masing-masing jasad tersebut. Ibnu Sina memiliki dua pendapat tentang asal usul nafs, ia menyatakan bahwa nafs baru terjadi setelah jasad siap menerimanya. Menurut Ibnu Sina, nafs tidak terdapat dalam keadaan terpisah dari jasad, dengan kata lain setiap jasad memiliki nafs yang memang spesifik baginya. Selain itu, juga mengemukakan pendapat yang berlawanan dengan pendirian ini. Menyebutkan bahwa nafs itu “habatat ilayk min al-mahall al-arfa”. Menurut Ibnu Sina, nafs dalam jasad bagaikan burung yang terkurung dalam sangkar. Merindukan kebebasannya di alam lepas, menyatu kembali dengan alam rokhani, alam asalnya. Setiap kali ia mengingat alam asalnya, ia pun menangis karena rindu ingin kembali.
Kata jiwa dalam Al-Qur’an dan Hadist diistilahkan dengan Al-Nafs atau Al-Ruh terekam dalam surat Shad: 71-72, al-Isra’: 85 dan al-Fajr: 27-30. Jiwa manusia, sebagai jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah rembulan, memancar dari akal sepuluh. Adapun secara garis besarnya pembahasan Ibnu Sina tentang jiwa sebagai berikut.
1.       Fisika, membicarakan tentang jiwa tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia.[3][12]
a.        Jiwa tumbuh-tumbuhan mempunyai  tiga jiwa yaitu: makan (Nutrition), Tumbuh (growth), berkembang biak (reproduction)
b.      Jiwa binatang mempunyai
·         Gerak (locomotion)
·          Menangkap (perception) dengan dua bagian :  Menangkap dari luar dengan panca indera dan menagkap dari dalam dengan indera – indera dalam.
·         Indera bersama yang menerima segala apa yang di tangkap oleh panca indera
·         Representasi yang menyimpan segala apa yang di terima indera bersama.
·         Imaginasi yang dapat menyusun apa yang di simpan dalam representasi
·         Estimasi yang dapat menangkap hal – hal abstrak yang terlepas dari materi, umpamanya keharusan lari bagi kambing dari Anjing Srigala.
c.       Jiwa manusia mempunyai dua daya yaitu praktis dan teoritis. Daya praktis hubungannya dengan jasad sedangkan daya teoritis hubungannya dengan hal-hal yang abstrak. Daya teoritis ini mempunyai empat tingkatan yaitu:
·         Akal materiil yang semata-mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum di latih sedikitpun.
·         Intelektualin habits, yang telah mulai di latih untuk berfikir tentang hal-hal abstrak.
·         Akal actual yang telah dapat berfikir tentang hal-hal abstrak.
2.      Metafisika, membicarakan tentang hal-hal berikut.
a.       Wujud Jiwa
Untuk membuktikan adanya jiwa Ibnu Sina mengemukakan empat dalil yaitu
-         Dalil dalam kejiwaan.
Pada dalil ini didasarkan pada fenomena gerak dan pengetahuan. Gerak ada dua macam:
·         ­    Gerak paksaan yaitu gerak yang ditimbulkan akibat dorongan dari luar.
·         ­    Gerak bukan paksaan, dan gerak ini terbagi menjadi dua yaitu:
Ø  Gerak yang sesuai dengan hukum alam seperti, jatuhnya batu dari atas ke bawah
Ø   Gerak yang terjadi dengan melawan hukum alam.
-        Dalil aku dan kesatuan gejala kejiwaan
Menurut Ibnu Sina apabila seorang sedang membicarakan tentang dirinya atau mengajak bicara orang lain, maka yang di maksud ialah jiwanya, bukan badannya. Jadi ketika menyatakan saya keluar atau tidur maka bukan gerak kaki, atau pemejaman mata yang dimaksud tetapi hakikat kita dan seluruh pribadi kita.

-         Dalil kelangsungan (kontinuitas)
Dalil ini menyatakan bahwa masa kita sekarang berisi juga masa lampau dan masa depan. Kehidupan rohani kita pada pagi ini ada hubungannya dengan kehidupan kita yang kemarin, dan hubungannya ini tidak terputus oleh tidur kita, bahkan juga ada hubungannya dengan kehidupan kita yang terjadi beberapa tahun yang lewat. Dalil kelangsungan Ibnu Sina ini telah membuka ciri kehidupan yang khas dan mencerminkan penyelidikan dan pembahasan yang mendalam, bahkan telah mendahului masanya beberapa abad.

-        Dalil orang terbang atau tergantung di udara.
Dalil ini adalah yang terindah dari Ibnu Sina dan yang paling jelas menunjukkan daya kreasinya. Meskipun dalil tersebut di dasarkan atas perkiraan dan khayalan, namun tidak mengurangi kemampunnya untuk memberikan keyakinan. Dalil tersebut mengatakan sebagai berikut: Andaikan ada seorang tercipta  sekali jadi dan mempunyai wujud yang sempurna, kemudian di letakkan di udara dengan mata tertutup. Ia tidak merasakan aapapun. Dalam kondisi demikian, ia tetap yakin bahwa dirinya ada. Di saat itu ia menghayalkan adanya tagan, kaki dan organ jasad lainnya, tetapi semua organ jasad tersebut ia khayalkan bukan bagian dari dirinya. Dengan demikian, berarti penetapan tentang wujud dirinya bukan hal dari indera dan jasmaninya, melainkan dari sumber yang berbeda dengan jasad, yakni jiwa. Dalil Ibnu Sina tersebut seperti halnya dengan dalil Descartes, didasarkan atas suatu hipotesa, bahwa pengenalan yang berbeda- beda mengharuskan adanya perkara-perkara yang berbeda-beda pula. Seseorang dapat melepaskan dirinya dari segala sesuatu, kecuali dari jiwanya yang menjadi dasar kepribadian dan dzatnya sendiri. Kalau kebenaran sesuatu dalam alam ini kita ketahui dengan adanya perantara (tidak langsung), maka satu kebenaran saja yang kita ketahui dengan langsung, yaitu jiwa dan kita tidak bisa meragukan tentang wujudnya, meskipun sebentar saja, karena pekerjaan- pekerjaan jiwa selamanya menyaksikan adanya jiwa tersebut.

Nafs : Hakikat, Fungsi, dan Alasan Pembedaannya dengan Jasad

Ibnu Sina menyatakan  bahwa nafs al-insan ialah kesempurnaan primer bagi jasad alami yang organis dari segi melakukan berbagai aktifitas yang ada dengan dasar ikhtiar fikri dan mengambil kesimpulan dengan nalar, serta dari segi mengetahui hal-hal yang universal (kamal awwal li jism thabi’iy ‘alamiy min jihat ma yaf’al al-af’al al-kainat bi al-ikhtiyar al-fikriy wa al-istimbat bi al-ra’y wa min jihat ma yudrik al-umur al-kulliyat). Ibnu Sina menyebut nafs sebagai kesempurnaan karena nafs itu dipandang sebagai kamal dari segi sebagai potensi yang memberikan kesempurnaan pada persepsi serta sebagai sumber berbagai aktifitas. Demikian pula nafs yang terpisah juga disebut kamal, seperti juga nafs yang tidak terpisah. Adapun nafs disebut sebagai kesempurnaan primer dimaksudkan sebagai kausal bagi species menjadi species, sedang kesempurnaan skunder merupakan atribut pengikat pada species. Sementara itu istilah jism digunakan dalam arti genusnya bukan fisik materialnya, sedang kata thabi’iy dipakai untuk membedakan dari jisim sinaiy (artifisial), demikian penjelasan Rayyan dalam kajiannya terhadap Ibn Sina.
Definisi jiwa yang telah dikemukakan oleh Ibnu Sina di atas tidak berbeda dengan pengertian yang diberikan al-Farabi yang sumber asalnya tidak lepas dari konsep Aristoteles. Namun Ibnu Sina menafsirkan  kesempurnaan tidak dalam arti sebagai forma seperti konsep Aristoteles yang tidak dapat dipisahkan dari materi. Berdasarkan konsep Aristoteles ini, nafs dalam arti forma akan turut hancur dengan hancurnya jasad fisik, ketika mati. Ibnu Sina menjelaskan bahwa memang forma itu merupakan kesempurnaan bagi jasad tetapi tidak berarti semua kesempurnaan itu adalah forma. Jadi nafs sebagai kesempurnaan jisim menurut Ibnu Sina, berbeda dengan nafs sebagai forma menurut Aristoteles. Dengan demikian, nafs bukanlah seperti jasad, tetapi ia adalah substansi rohani Lebih jauh lagi ditegaskan sebagaimana dikemukakan oleh Rahman, bahwa bagi Aristoteles, jiwa tidak dapat terpisah secara independen dari badan, ia adalah “the intelechy of a natural organized body”. Formula ini harus tidak dipahami dalam arti bahwa semula terdapat badan yang sudah terbentuk, kemudian jiwa datang dan memasukinya. Sebenarnya jiwa itu sendiri yang – sebagai suatu prinsip yang immanent – telah membentuk jasad, memberikan karakter spesifik, dan membuatnya sebagai apa adanya. Sebagaimana telah dijelaskan pada uraian sebelumnya, pandangan Aristoteles ini memperoleh perspektif baru di tangan Ibnu Sina dengan kekalnya nafs setelah jasad mengalami kematian. Ibnu Sina mengemukakan beberapa alasan untuk mendukung pendiriannya bahwa nafs memiliki eksistensi sendiri, tidak inheren dan sebentuk dengan jasad.
Pertama, Dalil Natural-Psychology, suatu dalil yang berpijak pada perlawanan terhadap gerak natural, dan dalil berikutnya yang berpijak pada capaian pengetahuan (idrak). Di antara berbagai gerak, terdapat suatu gerak yang melawan hukum alam (kajian moderen menyebut gravitasi) : manusia berjalan, burung terbang. Gerak demikian menghendaki adanya penggerak khusus yang melebihi unsur-unsur benda yang bergerak, yakni nafs. Idrak tidak dimiliki semua makhluk, tetapi hanya dimiliki oleh sebagiannya saja. Ini menunjukkan adanya kekuatan pembeda antara sebagian dan sebagian yang lain. Kekuatan pembeda tersebut ialah nafs.
Kedua, Dalil Istimrar (continuity) suatu dalil yang menyatakan bahwa berbeda dengan jasad yang mengalami perubahan (dengan kematian serta lahirnya sel-sel baru, menurut bahasa kajian moderen), nafs tidak pernah mengalami perubahan dan pergantian seperti itu. Demikian Ibn Sina dalam risalahnya yang disebut oleh Ahwani.
Ketiga, Manusia Terbang, suatu dalil yang menyatakan bahwa andaikata orang yang secara organik sempurna berada di angkasa dalam keadaan mata tertutup tidak mengetahui apa-apa, tidak merasakan sentuhan apapun – termasuk dengan anggota badan sendiri – ia tetap yakin terhadap eksistensi dirinya. Dalam keadaan seperti itu jika ia menghayalkan adanya tangan atau anggota tubuh lainnya, maka ia tidak akan menghayalkan sebagai bagian atau syarat bagi eksistensi dirinya. Ini membuktikan bahwa wujud nafs itu berbeda dengan, bahkan bukan jasad. Selain dalam al-Isyarat, (Juz I : 121) Ibnu Sina mengemukakan versi lain dalam al-Syifa’ sebagaimana didapati dalam Avecinna’s Psychology.
Keempat, Dalil ke Akuan dan Penyatuan Gejala Kejiwaan. Dalil keakuan menyatakan bahwa pemilikan dengan formulasi “..ku” ketika suatu aktifitas terjadi – misalnya mengambil dengan tanganku – menunjukkan bahwa aku, ku atau pribadi bukanlah kadar atau peristiwa-peristiwanya yang dimaksudkan, melainkan nafs dan kekuatannya. Sedang dalil penyatuan gejala kejiwaan menyatakan bahwa perasaan dan aktifitas manusia sangat beragam, bahkan juga saling bertentangan – misalnya sedih, dan senang – tetapi semua itu dapat terjadi pada satu diri. Ini hanya dapat terjadi jika dalam diri tersebut terdapat suatu pengikat yang menyatukan keseluruhannya (ribath yajma’ baynaha kullaha). Pengikat tersebut ialah nafs.[19]
Dengan bukti-bukti seperti diuraikan di atas, Ibn Sina sampai pada kesimpulan bahwa nafs manusia memiliki eksistensi sendiri, suatu eksistensi yang bersifat immateri yang memberikan kesempurnaan terhadap jasad yang bersifat materi. Ini berarti secara tidak langsung ia menolak pendekatan materialisme dalam memahami nafs manusia. Lebih jauh penting untuk dikemukakan bahwa di antara bukti-bukti tersebut di atas terdapat kemiripan dengan kajian-kajian modern, khususnya di bidang filsafat. Dalil orang terbang misalnya, mirip dengan “cogito”, suatu dalil yang lahir dari renungan Descartes, sekalipun secara substansial terdapat perbedaan penting antara keduanya. Para ahli sejarah filsafat memang telah menunjukkan affinitas alasan Ibn Sina dengan cogito ergo sumnya Descartes. Dalam hal ini Rahman menjelaskan bahwa baik Ibn Sina maupun Descartes diilhami oleh pemikiran Plotinus tentang keterpisahan jiwa dari tubuh. Namun demikian terdapat perbedaan pokok antara apa yang dirumuskan Ibn Sina dan cogito Descartes. Bagi Descartes antara ‘ I think “ dan I am” mempunyaia kesamaan makna. Dalam hal ini jelas bahwa kesadaran diri dan keberadaannya secara logis tak dapat dipisahkan. Berbeda dengan Descartes, Ibn Sina memandang unsur kesadaran itu ada sejak seseorang dapat mengukuhkan eksistensinya sendiri yang betatapun ada hanyalah sebagai cara menempati diri, ia adalah kenyataan yang mungkin, dan bukan suatu kemestian yang logis. Sesungguhnya Ibn Sina berada di antara Descartes dan Plotinus; karena bagi Plotinus kesadaran – sebagai suatu hubungan -menandakan bukan identitas diri yang jelas, tetapi semacam ke-lain-an; dalam identitas diri yang penuh, kesadaran mesti berhenti. Mengenai keorisinalan dalil cogito Descartes di atas, para pembahas berbeda-beda pendapat. Namun terlepas dari perbedaan ini, yang jelas Ibn Sina dengan Manusia Terbangnya telah mendahului cogito Descartes.

Nafs: Hubungannya dengan Jasad di Alam Fenomenal dan AlamTransendental

Sebagaimana telah dikemukakan pada uraian-uraian sebelumnya, Ibn Sina memandang bahwa nafs adalah substansi immateri yang muncul dari intelegensi aktif bersama dengan munculnya suatu tubuh yang kemudian bertindak sebagai kamal awwal. Kemunculan suatu nafs bersifat sedemikian spesifik diperuntukkan bagi tubuh tertentu. Ia adalah substansi immateri  yang independen bagi jasad yang diasuhsempurnakan berhadapan dengan nafs lain bagi tubuh lain pula. Dengan kata lain, Ibn Sina menolak paham reinkarnasi (al-tanasukh) sebagaimana dikemukakan dalam al-Shifa’. Demikian itu karena pada taraf fenomenal di antara nafs dan jasad terdapat suatu mystique yang secara eksklusif menjadikan keduanya serasi, sehingga reinkarnasi tidak mungkin terjadi. Dengan demikian mystique ini merupakan sebab dan akibat dari individualitas diri. Oleh sebab itu, Ibn Sina menolak sepenuhnya pandangan tentang identitas yang mungkin dari dua jiwa atau dari ego yang terlebur dengan ego Ilahi, ia menekankan bahwa kelanjutan hidupnya mestilah bersifat individual.
Menurut Ibn Sina antara jasad dan nafs memiliki korelasi sedemikian kuat, saling bantu membantu tanpa henti-hentinya. Nafs tidak akan pernah mencapai tahap fenomenal tanpa adanya jasad. Begitu tahap ini dicapai ia menjadi sumber hidup, pengatur, dan potensi jasad, bagaikan nakhoda (al-rubban) begitu memasuki kapal ia menjadi pusat penggerak, pengatur dan potensi bagi kapal itu. Jika bukan karena jasad, maka nafs tidak akan ada, karena tersedianya jasad untuk menerima, merupakan kemestian baginya wujudnya nafs, dan spesifiknya jasad terhadap nafs merupakan prinsip entitas dan independennya nafs. Tidak mungkin terdapat nafs kecuali jika telah terdapat materi fisik yang tersedia untuknya. Sejak pertumbuhannya, nafs memerlukan, tergantung, dan diciptakan karena (tersedianya) jasad. Dalam aktualisasi fungsi kompleknya, nafs mempergunakan dan memerlukan jasad, misalnya berpikir yang merupakan fungsi spesifiknya tak akan sempurna kecuali jika indera turut membantu dengan efeknya.
Bagi Aristoteles tubuh memiliki pengaruh terhadap fenomena mental. Tampaknya ungkapan “mens sana in corpore sano” dapat diperkirakan sejalan dengan  – jika bukan sebagai – formulasi pemikiran Aristoteles tersebut. Demikian ini disebabkan isi ungkapan tersebut menunjukkan bahwa kesehatan jiwa merupakan akibat logis dari adanya jasad yang sehat. Berbeda dengan pandangan Aristoteles, Ibn Sina menekankan pengaruh pikiran yang merupakan fungsi primer nafs terhadap jasad yang begitu luar biasa. Menurut Rahman, inilah salah satu dari segi paling orisinal filsafat Ibn Sina. Pandangan Ibn Sina ini tentu saja tidak mengurangi kedudukannya sebagai ahli medis yang telah merekam kajian empirisnya tentang ilmu kedokteran dalam al-Qanun fi al-Thibnya. Bahkan  pandangannya bahwa pikiran mempunyai pengaruh yang luar biasa terhadap fisik tersebut telah mengantarkan Ibn Sina sebagai ilmuan peletak dasar psychosomatic yang dewasa ini cukup menjadi perhatian bagi upaya penyembuhan, termasuk juga di dunia kedokteran sendiri.
Berdasarkan pengalaman medisnya, Ibn Sina menyatakan bahwa sebenarnya secara fisik orang-orang sakit, hanya dengan kekuatan kemauannyalah dapat menjadi sembuh. Begitu juga orang yang sehat, dapat benar-benar menjadi sakit bila terpengaruh oleh pikirannya bahwa ia sakit. Demikian pula, jika sepotong kayu diletakkan melintang di atas jalan sejengkal, orang dapat berjalan di atas kayu tersebut dengan baik. Akan tetapi jika kayu diletakkan sebagai jembatan yang di bawahnya terdapat jurang yang dalam, orang hampir tidak dapat melintas di atasnya, tanpa benar-benar jatuh. Hal ini disebabkan ia menggambarkan kepada dirinya sendiri tentang kemungkinan jatuh sedemikian rupa, sehingga kekuatan alamiah jasadnya menjadi benar-benar seperti yang digambarkan itu. Demikian Ibn Sina dalam al-Shifa’nya.
Korelasi antara nafs dan jasad, menurut Ibn Sina tidak terdapat pada satu individu saja. Nafs yang cukup kuat, bahkan dapat menyembuhkan dan menyakitkan badan lain tanpa mempergunakan sarana apapun. Dalam hal ini ia menunjukkan bukti fenomena hipnotis dan sugesti (al-wahm al’amil) serta sihir. Mengenai masalah ini, Hellenisme memandang sebagai benar-benar ghaib, sementara Ibn Sina mampu mengkaji secara ilmiah dengan cara mendeskripsikan betapa nafs yang kuat itu mampu mempengaruhi fenomena yang bersifat fisik. Dengan demikian ia telah berlepas diri dari kecenderungan Yunani yang menganggap hal-hal tersebut sebagai gejala paranatural, pada campur tangan dewa-dewa.[26]
Sekalipun pada tahap fenomenal, dalam mengaktualisasikan keindividualannya nafs memerlukan bantuan fisik  – sekaligus berdampak balik sebagai kesempurnaan bagi fisik itu sendiri, namun dalam tahap transendental yang dimulai dengan peristiwa kematian, nafs tidak lagi menghajatkan jasad. Demikian ini disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa jasad bukanlah merupakan causa prima (‘illlat) bagi nafs, juga karena nafs itu sendiri bersifat immateri (ruhaniyyat) lagi halus (basitah), suatu entitas tak tersusun. Dengan keadaan dan sifatnya seperti itu, nafs tidak turut hancur bersama kematian jasad, bahkan pada tahap transendental itu nafs berada pada alam kekalnya. Dalam hal ini Ibn Sina memiliki pemikiran filosofis yang berbeda dengan pendirian baik Aristoteles maupun al-Farabi. Bagi Aristoteles, pada tahap transendental tersebut hanya al-‘aql al-fa’’al (the active intellect) yang kekal, sedang bagi al-Farabi yang kekal hanya al-‘aql al-mustafad (the acquired intellect). Sementara itu Ibn Sina berpendirian bahwa nafs manusia yakni al-nafs al-natiqah dengan semua potensinya merupakan substansi immateri yang kekal abadi, tak mengalami kerusakan sama sekali.[27]
Pemikiran filosofis Ibn Sina tentang kekal abadinya nafs tampaknya terkait dengan ajaran Islam tentang kekekalabadiannya surga dan neraka, dan tentu saja pemikiran skolastik tersebut merupakan upaya filosof ini membangun pemahaman terhadap Islam di atas dasar pemikiran yang sangat mendalam. Namun ketika Ibn Sina sampai pada pendirian bahwa nafs pada tahap transendental ini tidak lagi berhajat pada jasad – yang oleh karena itu ia menolak adanya kebangkitan jasmani, tak terhindarkan lagi muncul polemik filosofis yang berkepanjangan. Al-Ghazali hadir menggugat pendirian Ibn Sina tersebut dengan Tahafut al-Falasifah , Ibn Rushd  –sekalipun dalam batas-batas tertentu juga mengkritik Ibn Sina—dengan Tahafut al-Tahafutnya berusaha mengadakan pembelaan terhadap al-Shayk al-Rais ini.
Dewasa ini, pertentangan pemikiran filosofis tentang kebangkitan jasmani memperoleh dimensi baru dalam perspektif fisika modern. Sebagaimana diketahui sejak lama fisika modern telah membuktikan bahwa materi dapat berubah menjadi energi, logikanya demikian pula sebaliknya. Keduanya dibedakan oleh tingkat kepadatjarangan belaka; jika energi memadat, berubah menjadi materi, dan jika materi menjarang, berubah menjadi energi. Dengan demikian dewasa ini tidak lagi dibedakan secara substansial antara materi dan immateri. Jika hal ini analog dengan kematerian jasad dan keimmaterian nafs, tentu tidak relevan lagi mempertentangkan manakah yang nanti akan dibangkitkan, nafs dan jasad atau nafs saja. Bahkan sebelum jasad mencapai tahap fenomenal dalam entitas kematerialannya, secara substansial ia berwujud immateri – yang baik menurut al-Farabi maupun Ibn Sina – melalui pola cipta emanasi. Begitu tahap fenomenal mulai dialami oleh wujud immateri kejasadan tersebut, terjadilah perubahan ke arah perwujudan materi. Dengan demikian persoalan materi-immateri ini hanyalah persoalan perubahan kuantitas dan forma belaka, bukan persoalan perubahan kualitas substansial. Konsekwensi kajian seperti ini tentulah menjadikan dualisme kejasad-nafsan manusia terbatas semata-mata pada tahap fenomenal. Sedangkan pada tahap transendental, dualisme itu mengalami perubahan yang sangat mendasar, sebab tidak lagi dalam arti manusia tersusun dari jasad material dan nafs immaterial, tetapi dalam arti manusia yang sekalipun bermula dari dua unsur tersebut, telah berubah menjadi suatu entitas yang tak terbagi. Apakah entitas yang tak terbagi ini bersifat immateri, materi, atau pada masanya kelak berubah kembali menjadi bersifat dualisme materi dan immateri yang terpadu, bukan merupakan suatu persoalan, sebab secara substansial tidak ada lagi perbedaan antara materi dan immateri.












BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kesimpulan Al-Farabi
Tentang bahagia dan sengsaranya jiwa, Al-Farabi mengaitkan dengan filsafat negara utamanya. Bagi jiwa yang hidup pada negara utama, yaitu jiwa yang kenal dengan Allah dan melaksanakan perintah – perintah Allah, maka jiwa ini, menurut Al-Farabi akan kembali ke alam nufus (alam kejiwaan dan abadi dalam kebahagian). Jiwa yang hidup pada negara fasiqah, yakni jiwa yang kenal dengan Allah, tetapi tidak melaksanakan segala perintah Allah, ia akan kembali ke alam Nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kesengsaraan. Sementara itu jiwa yang hidup pada negara jahiliyah, yakni jiwa yang tidak kenal sama sekali dengan Allah dan tidak pula pernah melaksanakan perintah Allah, ia akan lenyap bagaikan hewan.
Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad. Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah jasad sebagai alatnya. Tetapi para ahli membedakan antara ruh dan jiwa. Ruh berasal dari kata illahi yang artinya kembali ke asal semula. Ruh bersifat kerohanian yang suci . ruh dalam diri manusia merupakan sumber akhlak yang baik dan terpuji sedangkan jiwa adalah sumber akhlak tercela.

Kesimpulan Ibnu Sina

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, disimpulkan sebagai berikut. Menurut Ibnu Sina manusia pada tahap fenomenal terdiri dari jasad dan nafs. Korelasi antara nafs dan jasad bersifat interaksionis, dalam arti masing-masing saling memerlukan. Hanya saja nafs telah  menjadi sedemikian kuat, ia dapat mempengaruhi jasad dengan sangat luar biasa. Sementara itu dalam tahap transendental, nafs dengan segala potensinya tetap kekal abadi biarpun jasad mengalami kehancuran ketika tahap ini dimulai. Manusia menjadi suatu entitas yang tak terbagi yang tidak lagi memerlukan jasad materi dalam tahap transendentalnya. Penolakan Ibn Sina terhadap adanya kebangkitan jasmani menimbulkan pertentangan pemikiran filosofis. Pertentangan ini memperoleh dimensi baru dalam perspektif kajian fisika moderen yang telah membuktikan tidak adanya perbedaan substansial antara materi dan immateri.
Daftar Pustaka












Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Follow Us @soratemplates